Pertunjukan Tari di Borobudur Relief
Relief Borobudur tidak hanya merupakan karya seni yang dibuat oleh para pemahat. Hal tersebut juga merupakan potret kehidupan orang Jawa di masa lalu. Satu potret kehidupan yang terpahat dalam relief ini adalah budaya pertunjukan tari. Tarian dilakukan oleh seorang gadis, tarian perang, hingga informasi tentang jenis pertunjukan tari yang dipahat relief yang ada di Borobudur. Citra semacam itu tidak hanya melalui relief tapi juga pada prasasti yang menceritakan tentang kehidupan pertunjukan tari yang ada di Borobudur di masa lalu.
Pertunjukan seni, seperti tari, merupakan salah satu aspek kehidupan yang berkembang selama Borobudur. Penari profesional umumnya tampil di pasar atau berpindah dari satu desa ke desa lain. Pertunjukan jalanan seperti ini lebih dikenal dengan sebutan “rara mabramana tintonton” yang dalam bahasa Jawa kuno berarti “gadis yang berkeliling desa untuk diawasi”. Saat ini, penari jalanan seperti ini lebih dikenal dengan tledek atau tayub.
Tarian lain yang juga diukir di relief Candi Borobudur adalah tarian perang. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang penari, atau bisa ditarikan oleh satu penari wanita. Dalam tarian lega, seringkali bisa dilihat pria tua berjenggot yang berada di balik relief yang bertepuk tangan untuk menjaga irama tarian sang penari.
Umumnya, pertunjukan tari selama periode Borobudur terbagi menjadi dua jenis berdasarkan fungsinya. Yang pertama adalah pertunjukan dalam negeri, dan yang kedua adalah pertunjukan ritual. Pertunjukan domestik sendiri juga terbagi menjadi dua jenis pertunjukan yang berbeda berdasarkan audiensi, bangsawan atau penduduk desa. Akibatnya, penari juga terbagi menjadi dua kelas sosial, penari kelas atas dan penari kelas bawah. Seniman mulia biasanya dipekerjakan oleh istana kerajaan, sedangkan seniman biasa melakukan pertunjukan mereka di kelas bawah.
Uraian situasi ini diperoleh melalui tulisan pada prasasti yang disebutkan “agensi i haji” dan “agensi agarang”. Yang pertama adalah para penari yang dimiliki oleh raja, sedangkan yang kedua adalah penari biasa. Dalam bahasa Jawa saat ini, kelompok penari kedua lebih dikenal sebagai seniman “ambarang” atau barangan. Mereka adalah seniman yang tampil di pasar atau di desa dari satu rumah ke rumah lainnya. Abad kesembilan belas masih bisa disaksikan dalam relief Karmavibhanga di Candi Borobudur.