Borobudur di Masa Kolonial
Pada akhir abad ke-19, Presiden Masyarakat Arkeologi Yogyakarta, Isaac Groneman, mengambil lebih dalam konteks religius Borobudur. Ia percaya bahwa Borobudur adalah tempat suci umat Budha, namun ia membutuhkan dukungan yang kuat. Untungnya, pada waktu itu, Raja Chulalingkorn sedang dalam perjalanan ke Jawa untuk menjelajahi masa Lalu, Grooneman mengajak raja tersebut ke Borobudur.
Bagi Groneman, ini adalah awal perjalanan untuk memahami warisan Jawa kuno. Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, kunjungan mulia membawa makna yang berbeda. Sebagai pertanda pertemanan politik, pemerintah kolonial Belanda memberi delapan gerobak penuh artefak dari Borobudur, termasuk patung penjaga daerah Borobudur yang ditemukan di dekat bukit Dagi. Patung ini sangat penting karena petunjuk lokasi biara Budha yang pernah ada di dekat monumen.
Saat itu, Borobudur menjadi gambar yang cocok untuk raja, dan Borobudur sebagai tanda kejayaan Kerajaan Belanda di pameran dunia. Sebagai forum dagang, pameran dunia menjadi daya tarik kolonial hingga tahun 1930an. Arkeologi dipandang sebagai pengisi pameran, serta etnologi, zoologi, dan botani, serta disiplin ilmu lainnya. Ketegangan antara profesionalisme dan kepentingan politik di Jawa dan daerah kolonial lainnya di awal abad ke-20. Pada saat yang sama, arkeolog mulai melihat warisan ini dari berbagai sudut. Pelestarian bahkan lebih penting lagi: pemulihan Borobudur menjadi kebutuhan dan dilakukan oleh Th. Van Erp dalam 4 tahun, dimulai dari tahun 1907 sampai 1911. Pekerjaan dan hasilnya, dukungan investigasi dicatat pada tahun 1920, dalam sebuah buku dengan dua bagian dan enam jilid. Buku ini menjadi basis studi konservasi Borobudur. Bagian yang penting adalah bahwa itu adalah instrumen dalam penyerahan restorasi kedua Borobudur yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Negara ini memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945, melalui usaha dan diplomasi bersenjata, sebuah prestasi yang memberi kebanggaan nasional di mata dunia.